Jumlah guru yang tidak merata, termasuk rasio
antara jumlah guru dan siswa yang berlebih menyebabkan berbagai
persoalan di lapangan. Persoalan itu misalnya, tidak terpenuhinya
kewajiban 24 jam mengajar per minggu, yang berakibat pada tidak
dibayarkannya tunjangan profesi guru (TPG). Di sisi lain, sejumlah
sekolah tidak memiliki jumlah guru yang memadai, sehingga mengganggu
proses belajar mengajar.
Kepala Subdirektorat Program Direktorat Pembinaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Dikdas, Tagor Alamsyah mengatakan, sejak 2009, Kementerian
telah mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 39 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru.
Semangat dikeluarkannya peraturan itu adalah guru diperbolehkan mengajar di jenjang lain selama dua tahun, jika dia tidak mendapat jam mengajar di sekolah asal. Selama dua tahun berjalan itu, pemerintah kabupaten/kota harus melakukan penataan guru.
Meski demikian, Kemendikbud tetap memberlakukan sanksi berupa penundaan
penerbitan surat keputusan (SK) TPG bagi guru yang tidak memenuhi
kewajiban 24 jam mengajar. Tagor mengatakan, informasi apakah guru sudah
memenuhi kewajibannya itu dapat terlihat melalui data pokok pendidikan
(dapodik) yang dikembangkan Kemendikbud sejak beberapa tahun lalu.
Di tahun yang sama, pemerintah kembali mengeluarkan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 62 tentang Sertifikasi Guru dalam
Jabatan. Peratuan itu dibuat, salah satunya, dalam rangka penataan dan
pemerataan guru. Dalam peraturan itu disebutkan, bagi guru yang dipindah
ke sekolah lain dalam rangka pemenuhan penataan dan pemerataan guru,
maka ia tetap diberikan tunjangan, meski mengajar tidak sesuai dengan
sertifikatnya.
Subdirektorat Program Direktorat Pembinaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Dikdas, Tagor Alamsyah, mengaku, peraturan ini bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru. Namun,
lanjut Tagor, itulah solusi yang dapat diberikan Kementerian untuk
menyelesaikan persoalan yang ada. Menurutnya, jika persoalan ini
dibiarkan tanpa solusi, guru yang tidak mengajar tetap menerima gaji
sehingga hanya akan menjadi beban negara. Sementara jika mengangkat guru
baru, berarti beban negara semakin besar, karena akan ada dua
pembiayaan. “Kita optimalkan saja guru yang sudah ada (berlebih) ini,”
katanya.
Kini, dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk
mengendalikan formasi dan memindahkan guru. Itu artinya, tidak ada lagi
celah bagi kabupaten/kota mengangkat sendiri guru, sehingga berbeda
dengan kebutuhan sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar